Hikam: Tajrid dan Kasab
AKSINEWS.COM – Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari menggunakan beberapa istilah baku yang harus dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah itu adalah tajrid, asbab, syahwat dan himmah.
Tajrid secara bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.
Asbab secara bahasa memiliki arti sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat. Semisal Iskandar Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia (sebab-akibat).
Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis.
Lain halnya pengertian kata syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.
Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Jika syahwat adalah keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah.
“Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, adalah merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi.”
Ada masanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Jika seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab namun dia berkeinginan untuk tajrid, maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, jika Allah menempatkan seseorang dalam tajrid namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kejatuhan dari keinginan yang tinggi.
Inilah pentingnya untuk berserah diri agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak seseorang haruslah berkesesuaian dengan kehendak Allah.
Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan iman dengan berpikir tentang ayat-ayat Allah, beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah (menghamba) kepada Allah sesuai tuntunan Al-qur’an.
Setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepoti atau mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja (kasab). Lalu berkeinginan lepas dari kasab (usaha) dan hanya ingin melulu beribadah. Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi (samar).
Kewajiban seorang hamba menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Allah yang maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hambanya.
Tanda bahwa Allah menempatkan seseorang dalam golongan orang yang harus berusaha (kasab) adalah apa bila terasa ringan baginya, sehingga tidak membuatnya lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamanya dan tidak menjadikan dirinya tamak (rakus) terhadap milik orang lain.
Sebaliknya, tanda bahwa Allah mendudukkan seseorang dalam golongan hamba yang tidak berusaha (tajrid) adalah apa bila Allah memudahkan baginya kebutuhan hidup dari jalan yang tidak disangka, jiwanya tetap tenang ketika terjadi kekurangan karena tetap ingat bersandar kepada Allah dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban.
Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandari berkata: “Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- Mursy. Aku merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin. Tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guruku bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.” (SW)
Pingback: Antara Kasab dan Tajrid: Jalan Hidup Para Ulama Menuju Ridha Allah | Catatan Pribadi Muhammad Thamrin Daeng Situju