BeritaHukumTrending

Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto di Bebaskan, Bagaimana Nasib Pemberantasan Korupsi?

AKSINEWS.COM – Eks Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dibebaskan dari penjara usai memperoleh abolisi dan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Apa efek yang akan muncul dari pembebasan mereka terhadap upaya pemberantasan korupsi?

Tom Lembong keluar dari rutan Cipinang, Jakarta pada Jumat (01/08) sekitar pukul 22.00 WIB, dengan kaos polo biru gelap diikuti istri, kuasa hukum, dan Anies Baswedan.

Sembari merangkul istrinya, ia bersalaman dengan para pendukung yang menantinya sejak siang.

“Apa yang saya jalani ini bukan proses hukum yang ideal. Selama sembilan bulan ini sangat menantang dan membuat saya berefleksi,” kata Tom kepada wartawan, dikutip bbc.com, Sabtu (2/8/2025).

Sekitar satu jam sebelumnya, Hasto keluar dari rutan KPK dengan mengenakan jas dan kaos merah didampingi kuasa hukumnya. Ia mengucapkan terima kasih atas pemberian amnesti ini.

Keduanya keluar usai Keputusan Presiden yang ditandatangani Presiden Prabowo pada 1 Agustus 2025 terbit dan diserahkan ke rutan.

Meski sebagian proses hukum dan putusan pengadilan terhadap keduanya disebut memiliki kejanggalan, para pengamat hukum menilai pembebasan Tom dan Hasto “mempermainkan hukum dan akan berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi”.

Pemberian amnesti dan abolisi baru kali ini diberikan untuk terpidana korupsi regulasinya sejak terbit melalui Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.

Hasto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait perkara korupsi Harun Masiku. Sementara itu, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula kristal mentah pada 18 Juli silam.

Presiden Prabowo kemudian melalui Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 tertanggal 30 Juli 2025 meminta pertimbangan DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi terhadap 1.178 narapidana, termasuk Tom dan Hasto.

Pemerintah menyebut amnesti dan abolisi yang disetujui DPR “untuk menjaga kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan demi kepentingan bangsa dan negara”.

Pembangunan bangsa, klaim pemerintah, “membutuhkan seluruh elemen dan kekuatan politik bersama”.

Menurut pakar hukum, tujuan amnesti dan abolisi yang sejatinya berkaitan dengan rekonsiliasi dan hak asasi manusia dianggap telah dibelokkan dari semangat awalnya.

Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dalam jumpa pers yang digelar Jumat (01/08) malam, menyampaikan Presiden Prabowo “tetap berkomitmen pada penguatan pemberantasan korupsi”.

Ia mengatakan Prabowo tak ada menyebut orang tertentu ketika menyusun nama penerima amnesti dan abolisi.

“Iya, hanya ada dua orang terpidana korupsi di daftar ini. Tapi seperti yang disampaikan tadi, komitmen Presiden tetap pada pemberantasan korupsi,” katanya.

Supratman pernah mengumumkan pada januari lalu akan memberikan amnesti terhadap 44.000 narapidana untuk mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.

Kriteria yang disasar, yaitu para terpidana makar tidak bersenjata di Papua, penghinaan terhadap kepala negara melalui UU ITE, warga binaan pengidap sakit berkepanjangan, seperti gangguan kejiwaan maupun HIV-AIDS, dan pengguna narkotika yang seharusnya menjalani rehabilitasi.

Tindak pidana khusus berupa tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme kala itu disebut pemerintah tidak akan masuk kriteria penerima amnesti dan abolisi. Namun faktanya, Hasto dan Tom menerima keduanya.

Peneliti ICW, Yassar Aulia, bilang terpidana korupsi semestinya tidak layak menerima amnesti dan abolisi. Pemberian dua hal itu dapat memicu implikasi besar pada pemberantasan korupsi.

Menurut Yassar, mekanisme abolisi dan amnesti dapat dimanfaatkan para koruptor untuk berupaya bebas dari kejahatannya.

“Sepanjang kami tahu, sepanjang sejarah tidak pernah ada amnesti maupun abolisi diberikan kepada terpidana kasus korupsi,” ucap Yassar.

Sahel Muzammil dari Transparency International Indonesia (TII) menyebut terpidana korupsi, apa lagi yang kasusnya masih ada di pengadilan tingkat pertama, tak sepatutnya menerima pengampunan maupun penghapusan penuntutan.

“Pemberian amnesti dan abolisi ini sangat prematur. Kasusnya belum inkracht,” kata Sahel.

“Kalau memang ini politisasi hukum, maka harus diungkap siapa dalangnya yang mempolitisir dan tentu harus diadili juga.

“Jika kasus ini memang politis, siapa yang mempolitisasi. Apakah bagian dari pemerintahan sebelumnya atau bagian dari pemerintahan saat ini.”

“Tentu, ada konsekuensi hukumnya. Jangan prinsip negara hukum dipermainkan,” ujar Sahel.

Saat ini, Tom tengah mengajukan banding terhadap putusan pengadilan negeri. Sementara itu, KPK masih berencana naik banding atas putusan Hasto di tingkat pertama.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto, menyebut kasus yang dihadapi Tom dan Hasto adalah dugaan korupsi yang kental motivasi politik.

Dugaan politisasi bisa menjadi alasan untuk memberi amnesti dan abolisi sepanjang memiliki alasan yang kuat. “Alasan dan tujuan pemberian amnesti dan abolisi pada keduanya harus dijawab Prabowo. Keduanya menjadi tersangka saat pemerintah Prabowo, tapi sekarang Prabowo berikan amnesti dan abolisi,” kata Sulistyowati. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *