BeritaOpini

Aktivis dan Kekuasaan

Oleh: Eko S Dananjaya

Apa sebenarnya aktivis dan kekuasaan itu? Menurut ringkasan Artifisial intelegen (AI), aktivis adalah orang yang terlibat secara aktif dalam gerakan untuk memajukan tujuan politik, sosial atau lingkungan tertentu.

Orang yang menyandang aktivis setidaknya menjalankan perubahan yang lebih baik di lingkungannya maupun tempat lain. Ia menjadi penerang dalam kegelapan. Menjadi oase perubahan tatkala orang menghadapi kecemasan dan bingung menatap ketidakpastian masa depan bangsa.

Aktivis itu memiliki level of life yang berbeda dibanding masyarakat biasa. Punya tempat tersendiri yang orang lain belum tentu miliki. Seperti integritas, kapasitas, intelektualitas, jaringan sosial maupun atmosfir lingkungan. Yang tentu saja aktivis senantiasa berdiri serta berpihak pada ketidakberdayaan masyarakat yang teraniaya oleh ketidakadilan hukum, ekonomi dan politik.

Dalam cerita pewayangan Mahabarata, saya ibaratkan aktivis dapat dikatagorikan atau disimbulkan sebagai kaum Brahmana. Yakni kaum yang memiliki kasta paling tinggi di masyarakat. Oleh sebab itu, aktivis dapat kita sebut sebagai kelas masyarakat yang memiliki peran penting dalam perubahan di bidang pengetahuan, politik maupun kenegaraan.

Mahatma Gandhi adalah aktivis mahasiswa sekaligus tokoh perintis kemerdekaan India. Dia tercatat sebagai mahasiswa hukum di Inner temple dan university College London Inggris. Kiprahnya terhadap perjuangan India sangat besar. Melawan penjajah Inggris dengan Satyagraha, yakni melawan tanpa kekerasan. Sebuah filosofi yang tinggi jika di nalar seperti sesuatu yang tidak masuk akal. Melawan kekerasan tanpa kekerasan.

Mahatma Gandhi merupakan simbul perlawanan bangsa India atas kebengisan, penjajahan yang tidak manusiawi. Gandhi bersikap dengan tidak melakukan kompromi pada penjajah. Gandhi menanamkan Ahimsa ( tanpa kekerasan), Satyagraha (menjunjung kebenaran), Hartal (Pemogokan), Swadesi (penggunaan produk dalam negeri).

Empat pilar Gandhi isme menjadi pondasi untuk menaklukkan Inggris yang sedang menjajah negaranya. Empat pilar komitmen dalam melawan penjajah, merupakan pesan moral yang kuat dari seorang Mahatma Gandhi kepada rakyat India. Yakni dapat membangkitkan serta membangun kultur, menanamkan moral serta melawan semua angkara murka dan napsu keserakahan.

Demikian India mempunyai Mahatma Gandhi dan Jawaharlal Nehru. Di Indonesia juga tak kalah hebat. Banyak lahir tokoh peletak dasar Republik yang berasal dari aktivis mahasiswa. Seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Natsir, Muso, Moh Yamin, Soepomo, Kartosuwiryo adalah tokoh kunci lahirnya jabang bayi yang bernama Indonesia.

Jauh sebelum ada generasi Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka ada tokoh-tokoh yang lebih dahulu merintis jalannya kemerdekaan melalui Kebangkitan Nasional dan Budi Utomo. Mereka adalah pembawa aufklarung masa depan bangsa hingga Indonesia seperti sekarang ini. Indonesia merdeka dengan desain perangkat infrastruktur yang matang. Para pendiri bangsa telah meletakkan pondasi moral dan etika yang kuat. Tapi dalam kenyataan, kesininya Indonesia semakin hari semakin tidak jelas arah pembangunan. Kita rasakan betapa kini Indonesia menjadi bangsa yang tidak terhormat di dunia internasional karena terjadi keruntuhan mental, moral, kebudayaan dan kejujuran.

Indonesia mengalami degradasi moral yang parah. Setelah reformasi, arah bangsa justru tidak ada tingkatan untuk mencerminkan menjadi bangsa yang ramah terhadap nilai, moral dan etika. Terjadi kesemrawutan serta kehancuran di segala aspek. Baik di Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif. Semuanya retak dan rusak karena demokrasi tidak dimaknai sebagai nilai moral dan etika.

Demokrasi itu sejatinya etika, moral, bukan kebebasan. Tapi di Indonesia, praktek demokrasi diartikan sebagai kebebasan mutlak, sehingga dalam praktek kenegaraan tiga pilar Trias Politika tersebut saling berbenturan. Bertabrakan dan tumpang tindih.

Indonesia kini terjebak pada praktek demokrasi otoritarian. Mengapa? Karena para pelaku kenegaraan tidak mau memahami serta menjalankan fungsi Trias Politika. Yang terjadi Demokrasi malah dijadikan alat untuk pembenaran. Demokrasi yang dibangun tidak lain demokrasi semu (pseudo democracy). Demokrasi sebagai obyek oleh Eksekutif, Yudikatif maupun Legislatif. Tiga institusi ini bukan mengatur jalannya pemerintahan tetapi malah mejadi bagian instrumen alat berkuasa dengan paradigma yang mereka terjemahkan sesuai keinginan penguasa. Artinya, lembaga tersebut telah dibelokkan menjadi pelindung oleh aparat penegak hukum maupun penyelenggara negara. Jika sudah demikian maka dipastikan akan terjadi malpraktek serta pelanggaran hukum maupun etika.

Jika kita telusuri mengapa selama 27 tahun ini Indonesia terus menerus berdebat dan berputar-putar soal etika hukum, politik serta kerusakan moral ? karena, pemerintah sebagai subyek penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara hukum (Yudikatif) maupun pihak yang mengawasi jalannya lembaga-lembaga negara (Legeslatif) telah menjadi stempel penguasa. Baik Yudikatif maupun Legeskatif tidak dapat berjalan dengan baik. Akibatnya terjadi kebuntuan dalam mengakses demokrasi. Dengan demikian bangsa ini terjebak pada paradigma Presidensial yang mutlak. Karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Kekuatan rakyat menjadi lemah dan tidak memiliki daya presure dikarenakan Parlemen telah menjadi sub kordinasi dari Presiden.

Peran Parlemen melemah dan terkesan sebagai kacung pemerintah. Corak budaya kekuasaan selama sepuluh tahun terakhir ini, memperlihatkan superioritas Presiden. Sehingga terjadi kemandekan fungsi demokrasi.

Dominasi budaya Jawa yang harusnya di ajarkan dalam birokrasi dengan benar, dalam prakteknya malah dibalik. Budaya Tepo Seliro (tenggang rasa, saling menghormati) Ewuh Pakewuh ( sungkan, segan atau tidak enakan) yang seharusnya di pakai dengan benar sesuai filosofinya. Tetapi dalam kenyataannya justru di belokan, disesatkan, dikapitalisasi sebagai obyek pendapatan dan keuntungan pribadi maupun kelompok. Tepo seliro, tenggamg rasa atau ewuh pakewuh tadi justru di negasi menjadi tabiat yang merugikan pihak lain. Padahal dalam praktek sosial, tepo seliro dan ewuh pakewuh tersebut harusnya dijadikan standar etika untuk menjaga agar orang tidak melanggar hukum, agar orang saling menghormati. Logika etika yang dibalik itu kemudian melahirkan praktek negatif dalam hubungan kerja pada birokrasi. Praktek koruptif, pemutar balikan atau pengingkaran ajaran beretika telah di jadikan budaya birokrat untuk menjaga kepentingan serta keuntungan dari jabatannya.

Seperti halnya demokrasi yang harusnya dijalankan dengan baik tapi dimanipulasi sehingga citra demokrasi menjadi rusak. Semua yang terjadi di era demokrasi ini dijadikan momentum politik yang berakibat pada destruktifitas moral bangsa.

Para pejabat Indonesia tidak memberi contoh pada rakyatnya sebagai tauladan. Justru memperlihatkan mental korupsi, arogansi muncul sebagai watak keseharian yang menggambarkan keserakahan serta ketamakan dalam kuasa.

Rakyat hanya dijdikan obyek keperntingan. Rakyat dijadikan sasaran penderita untuk memenuhi hasrat para pejabat. Tak peduli rakyat hidup susah yang penting pejabat dapat mewah.

Kekuasaan penuh tipu daya

Menjadi penguasa di Indonesia itu paling enak. Karena semua di layani dan diberi privilege. Sosiolog kondang Max Weber, pengagas tentang birokrasi moderen, yang mendiskripsikan model birokrasi dengan ciri-ciri, hierarki, pembagian kerja, aturan formal dan frofesionalisme.

Tapi apa lacur birokrasi yang berada di indonesia. Hampur di seluruh departemen atau kementrian berada pada ambang bahaya. Tidak sedikit operasi pemberantasan korupsi yang di lakukan oleh KPK maupun Kejaksaan Agung menemukan banyak bukti korupsi. Korupsi di Indonesia seperti tidak pernah ada habisnya. Itu disebabkan karena mentalitas birokrasi sejak era Orde Baru sampai sekarang tidak berubah.

Birokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk memudahkan aturan hidup masyarakat malah menjadi bumerang. Birokrasi tidak menjadi nilai apabila aturannya memberatkan masyarakat, berliku dan penuh transaksi. Praktek semacam ini sudah lazim di lingkaran birokrasi di Indonesia.

Maka tidak heran banyak pejabat atau birokrat yang harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan akibat jual beli jabatan maupun praktek koruptif di kantornya. Negara banyak dihambat oleh perbuatan koruptif yang dilakukan oleh petinggi birokrasi. Tidak saja mereka ini mencuri uang brangkas megara tetapi hampir semua celah yang sekiranya dapat menghasilkan uang akan dikapitalisasi dengan cara yang lazim di instansi departemen tersebut.

Godaan itu yang sering melenakan Aparatur Sipil Negara terjerembab pada tindakan koruspi. Korupsi tidak memandang institusi dan label dari mana. Tapi tindakan korupsi disadari sebagai penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, kekuasaan untuk mencari kunjungan pribadi maupun kelompok.

Hampir di setiap departemen korupsi ada. Di Kantor Pertamina, Depdiknas, Departemen Pertahanan, Lembaga Polri, Kementerian Kelautan, Kominfo dsb.

Baru-baru ini, praktek pemerasan juga dilakukan seorang wakil Menteri Depnaker. Ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga meminta imbalan terhadap perusahaan yang tengah mengurus sertifikasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

Peristiwa ini menjadi berita besar karena yang ditangkap adalah seorang mantan aktivis yang dulu gembar gembor memperjuangkan perubahan dan melawan korupsi.

Jabatan politik yang mentereng seperti Menteri maupun Wakil Menteri yang diberikan oleh Presiden Prabowo merupakan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan baik dan konsekwen. Tapi sering kali jabatan tersebut disalahgunakan menjadi alat untuk mengkapitalisasi diri dengan mengumpulkan harta.

Kondisi negara kini sedang dalam keadaan sulit. Rakyat juga mengalami stres ekonomi, jumlah pengangguran bertambah, lulusan sarjana banyak yang belum dapat pekerjaan, UMKM mengalami kepailitan. Hampir semua lalu lintas ekonomi rakyat mengalami decline.

Penegak hukum dalam pemberantasan korupsi seperti kedodoran akibat banyaknya praktek korupsi yang tidak pernah habis. Mental dan moral birokrasi harus di rubah secara Radikal agar kesan “birokrat harus dilayani’ itu harus di kikis. Sehingga birokrasi tidak lagi sebagai hambatan untuk memajukan dan mendukung kebijaksanaan pemerintah yang hendak kesejahteraan rakyatnya.

Korupsi adalah musuh bersama seperti halnya narkoba. Oleh sebab itu harus di jatuhi hukuman yang berat. Koruptor jangan diberi amnesti supaya jera. Tanpa ada tindakan hukuman berat bagi koruptor maka Indonesia akan terhambat dalam pembangunan. Sebab koruptor ibarat tanaman benalu yang dapat mematikan tanaman yang ditumpanginya.

Maka, sebaiknya penegak hukum memberikan hukuman berat dan tidak pandang bulu.

Kasus pemalakan yang dilakukan oleh wakil Menteri Depnaker Immanuel Ebenezer merupakan special case. Karena ia telah mengkampeyakan “agar pelaku korupsi dihukum mati”. Ia mengingatkan pada kita bahwa betapa berbahayanya praktek korupsi itu, sehingga harus di jatuhi hukuman mati.

Selain sebagai birokrat Ebenezer juga seorang yang pernah ditempa sebagai aktivis. Ebenezer kurang hati-hati dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat. Dan tergiur dengan materi yang ada di sekitarnya. Perbuatannya bukan saja mencoreng institusinya tapi juga menghancurkan reputasi sebagai aktivis.

Aktivis itu sejatinya metamorfosa kehidupan rakyat kecil yang tertindas yang berjuang untuk kepentingan orang banyak. Meski aktivis digambarkan sebagai “Dewa” yang dianggap mampu membuka semak belukar ketidakadilan. Pada akhirnya tidak semua aktivis dapat bertahan dari godaan materi atau terjerembab di kubangan yang kotor dan terlena ikut menceburkan diri. Al hasil dunia aktivis dikotori oleh hilangnya kesadaran untuk memberantas korupsi yang harusnya ikut melawan dari dalam dan memerangi korupsi sebagai penyakit common enemy bangsa ini. Tapi sayang, peribahasa lama itu tidak diresapi dengan sungguh-sungguh tentang bagaimana, ” Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”.

Peribahasa yang mengandung pesan moral itu kini hampir hilang dari budaya birokrasi kita.

Penulis adalah aktivis 80 an,
Tinggal di Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *