“Amok” Rakyat: Luapan Kemarahan dan Ketidakadilan yang Lama Terpendam
Oleh: Alexander A. Saputra
AKSINEWS.COM – Kemarahan rakyat yang menggelegak di Indonesia mencerminkan akumulasi ketidakpuasan yang mendalam terhadap lembaga perwakilan, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Demonstrasi yang baru-baru ini, bahkan masih terjadi, dikenal sebagai tuntutan untuk membubarkan DPR merupakan cerminan simbolis dari kesulitan yang dihadapi masyarakat.
Dalam konteks ini, penting untuk merenungkan hasil yang dapat dicapai, apakah semua anggota dewan akan diberhentikan dan akan diisi dengan anggota baru, atau apakah perubahan sistemik dalam DPR akan menjadi solusi yang diharapkan?
DPR sebagai representasi dari perwakilan kepentingan rakyat seharusnya mencerminkan suara dan aspirasi masyarakat yang memilih mereka, mewakili kepentingan pemegang daulatnya. Namun, kenyataan yang ada sering jauh dari harapan.
Dalam situasi di mana anggota dewan tengah berada dalam sorotan publik karena keputusan yang merugikan, seperti isu kenaikan gaji dan tunjangan yang tidak sejalan dengan kondisi rakyat, kemarahan wajar muncul.
Para wakil rakyat yang seharusnya menjadi pelindung, justru terkadang merendahkan dan menantang ekspresi kekecewaan rakyat, menambah bahan bakar bagi gelombang ketidakpuasan.
Peristiwa-peristiwa lain yang secara perlahan telah memperburuk situasi, seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, kisruh distribusi gas melon, ribut-ribut BBM oplosan, dan kebijakan yang dianggap merugikan rakyat, semakin memicu kemarahan yang meluas.
Kebijakan-kebijakan seperti pemblokiran rekening oleh PPATK, kasus korupsi dalam eksploitasi sumber daya alam, tanah nganggur disita negara, termasuk fenomena kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta berbagai peristiwa kontroversi lainnya, memperkuat rasa frustasi yang sudah terpendam.
Dalam keadaan demikian, posisi Presiden Prabowo terjebak dalam peran sebagai “pemadam kebakaran,” bertugas mengatasi berbagai macam masalah sosial dan politik yang muncul.
Ironisnya, ketika rakyat mencoba menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui demonstrasi, mereka dihadapi dengan tindakan represif dari aparat kepolisian.
Penanganan yang brutal dan tidak manusiawi terhadap demonstran menciptakan jarak yang semakin jauh antara pemerintah dan rakyat. Padahal, dalam sebuah negara konstitusi, kemarahan rakyat adalah suara sah yang perlu di dengarkan.
Gelombang kemarahan ini, yang dapat dianalogikan dengan tsunami, berpotensi menggulung semua yang menghalangi perubahan.
Di tengah gejolak yang terus memuncak, ada kebutuhan mendesak untuk meredakan “amok” kemarahan rakyat. Tindakan awal yang perlu diambil adalah mendorong restrukturisasi baik di kepolisian maupun di lembaga legislatif.
Presiden Prabowo hendaknya segera mencopot Kapolri dan ganti dengan sosok yang lebih mampu memberikan rasa aman kepada rakyat, bukan sebaliknya.
Anggota DPR yang terlibat dalam perilaku menghina, merendahkan dan bahkan melecehkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan juga harus diundurkan, karena mereka gagal menjalankan amanah sebagai wakil rakyat.
Presiden Prabowo, sebagai kepala (pemimpin) negara, harus berkomitmen untuk mendorong perubahan sistemik secara bertahap serta menciptakan DPR yang lebih responsif dan akuntabel. Hanya dengan cara ini kepercayaan rakyat dapat dibangun kembali, dan kemarahan yang berkobar dapat dialihkan menjadi energi positif untuk membangun bangsa.
Tanpa langkah nyata, ketidakpuasan ini hanya akan meruncing dan menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan segala upaya menuju stabilitas dan kesejahteraan sosial.
Penulis adalah Direktur Eksekutif HitamHitam Infopreuneur Syndicate dan Sekretaris Jenderal Jaringan Nasional Aktivis ’98.