BeritaNasionalTrending

Prostitusi Digital di IKN, Detti Artsanti: Teknologi Menjadi Wajah Baru Eksploitasi Seksual

AKSINEWS.COM – Ketua Yayasan 98 Peduli, Detti Artsanti, menyampaikan pernyataan tegas terkait maraknya praktik prostitusi online di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN).

Detti menyoroti perubahan pola eksploitasi seksual yang kini berpindah ke ruang digital dengan memanfaatkan media sosial, aplikasi pesan, dan platform daring lainnya.

“Kita tidak bisa lagi melihat prostitusi sebagai fenomena jalanan. Saat ini, praktik itu beroperasi dalam sistem digital yang rapi tapi eksploitatif. Para perempuan yang dilacurkan (pedila) tidak memiliki kendali atas hidup mereka. Mereka hanyalah pion dalam jaringan mucikari digital,” kata Detti, kepada Aksinews.com, di Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Eksploitasi Terselubung, Ilusi Kebebasan

Para pedila tidak mengatur tarif, jadwal, atau akun yang mereka gunakan. Sistem prostitusi online dikendalikan oleh pihak ketiga yang memantau dan mengarahkan seluruh aktivitas mereka. Banyak dari korban direkrut melalui lowongan kerja palsu atau janji pekerjaan layak, namun kemudian terperangkap dalam jaringan eksploitasi seksual terselubung.

“Yang tampak seperti transaksi pribadi justru menyulitkan deteksi dan perlindungan. Ini bukan kebebasan. Ini adalah eksploitasi dengan wajah baru,” tegas Detti.

Paradoks Hukum dan Salah Sasaran

Detti juga mengkritik pendekatan hukum yang masih sering menggunakan UU ITE untuk menjerat korban prostitusi online. Pendekatan ini dinilai keliru dan berpotensi mengkriminalisasi perempuan yang seharusnya dilindungi.

“Dalam kerangka HAM internasional seperti CEDAW dan Protokol Palermo, prostitusi yang melibatkan eksploitasi termasuk lewat media digital jelas dikategorikan sebagai bentuk perdagangan orang. Tapi hari ini, korban justru dijadikan pelaku,” ungkapnya.

Isolasi Sosial dan Stigma Berlapis

Sebagian besar pedila di IKN adalah perempuan perantauan, yang tidak memiliki jaringan keluarga atau komunitas pendukung. Mereka rentan terhadap penipuan digital dan ketika akhirnya terekspos ke publik, mereka justru mendapatkan stigma, bukan perlindungan.

“Kita sebagai masyarakat harus berhenti menyalahkan korban. Mereka adalah perempuan muda yang terjebak dalam sistem yang timpang, ekonominya timpang, teknologinya timpang, hukum dan sosialnya pun timpang,” ujar Detti.

Rekomendasi Yayasan 98 Peduli

Detti menyerukan kepada para pihak agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, hendaknya aparat Kepolisian menghentikan razia yang menyasar korban dan fokus pada pengungkapan jaringan mucikari digital.

Kedua, aparat penegak hukum sebaiknya merevisi pendekatan hukum terhadap kasus prostitusi online dengan membedakan secara tegas antara pelaku eksploitasi dan korban digital.

Ketiga, Kementerian Kesehatan segera menyediakan layanan kesehatan dan konseling daring yang aman dan anonim.

Keempat, media dan jurnalis sebaiknya melindungi identitas pedila dengan menggunakan bahasa yang tidak menyudutkan.

Kelima, mengajak tokoh agama, adat, dan komunitas merangkul korban kembali ke masyarakat sebagai upaya melawan stigma dan memberikan ruang pemulihan yang bermartabat.

“Jika tidak ada perubahan, teknologi akan menjadi alat perbudakan modern. Kita tidak bisa membiarkan perempuan-perempuan muda terus menjadi korban sistem digital yang kejam. Saatnya berpihak pada keadilan, bukan sekadar ketertiban,” tutup Detti Artsanti. (sw)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *